Makalah Kabupaten Tulang Bawang SMKN 1 Panca Jaya
MAKALAH
KABUPATEN TULANG BAWANG
DI SUSUN OLEH :
………………………………………………
SMK NEGERI 1 PANCA JAYA
KABUPATEN MMESUJI
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu -Budha berkat hubungan dagang dengan negara-negara
tetangga maupun yang lebih jauh seperti India , Tiongkok , dan wilayah Timur
Tengah . Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal tanggal Masehi, dibawa oleh para musafir dari India
antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawaterkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan
juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien. Pada abad
ke-4 di Jawa Barat ada pemerintah yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu pemerintah Tarumanagara yang dilanjutkan denganKerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa ini pula muncul dua
kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit . Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, pemerintah Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra.
Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibu kotanya Palembang sekitar
tahun 670 . Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai
daerah sejauh Jawa
Tengah dan Kamboja . Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah
kerajaan Hindu di Jawa Timur , Majapahit . Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364 , Gajah Mada , berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang
kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung
Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan
pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana .
Berangkat dari sejarah bangsa Indonesia yang
didahului oleh masa keajaan. Kerajaan Hindu merupakan pelopor berdirinya
Negara hindu di Indonesia. Banyak pemerintah-pemerintah hindu di
Indonesia. Sejak masuknya budaya hindu ini Zaman Prasejarah mulai berganti
menjadi Zaman Sejarah. Pemerintah hindu di Indonesia memiliki sejarahnya
masing-masing, seperti Kerajaan Kutai dan Tarumanegara.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah dari kerjaan Tulang Bawang?
2. Dan
bagaimanakah sejarah dari Pemerintah Kota Kapur?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Arti
Lambang Kabupaten Tulang Bawang
Arti Lambang :
1. Perisai
Bersegi Lima,melambangkan
Masyarakat Tulang Bawang mampu mempertahankan, Cita -Cita Bangsa
Indonesia,melanjutkan pembangunan,memajukan daerah berdasarkan Pancasila
Dan UUD 1994.
2. Bagian
Atas Lambang Bertuliskan TULANG BAWANG, huruf merah dan dasar putih,melambangkan
keberadaan dan terbentuknya daearah Tulang Bawang, dalam nuansa persatuan dan
kesatuan,semangat kebersamaan, sarta kehormatan terhadap Merah Putih.
3. Payung
berwarna putih,
melambangkan pemberian perlindungan, pengayom penghormatan tertinggi
masyarakat Tulang Bawang.
4. Pada
Payung Terdapat
20 rumbai,Bergaris 3,berjari-jari 9, bergelombang 7. Melambangkan Kabupaten
Tulang Bawang diresmikan pada tanggal 20-3-1997.
5. Mahkota,melambangkan
kepemimpinan, keperkasaan Dan kepahlawanan Masyrakat, Tulang Bawang.
6. Sebuah
Lingkaran,melambangkan
masyrakat Tulang Bawang bersifat Heterogen. Dari Ragam
Budaya,Pendidikan,Sosial,Berpadu Teguh Dalam Kesatuan,
7. Menggapai
Cita,melangkah kemasa depan,Dan Membangun Kejayaan Tulang Bawang.
8. Pada
Lingkaran yaitu:
1. Bagian
Atas,didalam lingkaran terdapat warna hijau lumut,
Melambangkan lingkungan yang sejuk, daerah pertanian,perikanan,peternakan dan perkebunan.
Melambangkan lingkungan yang sejuk, daerah pertanian,perikanan,peternakan dan perkebunan.
2. Bagian
Atas lingkaran terdapat 4 garis bergelombang,
Melambangkan Dominasi sekurang - kurangnya 4 sungai besar secara historis, Mengantarkan Kejayaan Tulang Bawang.
Melambangkan Dominasi sekurang - kurangnya 4 sungai besar secara historis, Mengantarkan Kejayaan Tulang Bawang.
3. Bagian
Bawah Dalam Lingkaran terdapat warna coklat,
Melambangkan kesuburan tanah.
Melambangkan kesuburan tanah.
4. Pada
Lingkaran terdapat tombak/payan,Keris saling silang,Adalah senjata tradisional
masyarakat Tulang Bawang,yang siap mempertahankan kehormatan daerah dan
masyarakat.
9. Rangkaian
Padi dan kapas,melambangkan
kebersamaan yang utuh, untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
10. Pepadun
atau mahliga tempat
kedudukan seseorang penyimbang marga, melambangkan Masyarakat Tulang
Bawang,telah lama mengenal sistem kepemimpinan yang, kuat dan mengakar.
11. Tulisan
Aksara Lampung Berbunyi
"Tulang Bawang"
12. Seuntai
pita bertuliskan "sai
bumi nengah nyappur",dasar putih dengan,tulisan bewarna merah.
13. Sai
Bumi Nengah Nyappur,Bermakna Bahwa,Masyarakat daerah
Tulang Bawang sangat terbuka,mudah beradaptasi terhadap lingkungan,serta ramah
dalam pergaulan.
14. Merupakan perwujudan sikap
dan kemampuan,keluhuran dan keyakinan,serta percaya diri.
15. Warna
Putih Melambangkan
Marga/Megou.
16. Warna
Kuning Melambangkan
Tiuh/Kampung.
2.2. Sejarah Kerajaan Tulang
Bawang
Pemerintah Tulangbawang adalah salah
suatu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung . Pemerintah ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang , Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang
memberikan deskripsi tentang pemerintah ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha , dalam catatannya menyatakan pernah singgah
di To-Lang P'o-Hwang ( "Tulangbawang"), suatu
kerajaan di pedalaman Chrqse ( Pulau Sumatera ). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu
Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke
VII M. Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang
Bawang, namun ahli sejarah Dr. JW Naarding memperkirakan pusat kerajaan
ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan
Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala .
Seiring dengan makin berkembangnya pemerintah
Che-Li-P'o Chie ( Sriwijaya ), nama Pemerintah Tulang
Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah tentang kerajaan ini
yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat, namun
karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk
berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berwenang selalu berganti
ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang
mengisahkan tentang alur dari pemerintah ini.
K erajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan
Hindu tertua di Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap
fakta tentang kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P'o Chie (Kerajaan
Sriwijaya) berkembang, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru
memudar. Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad ke-4
pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika
melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah di
sebuah kerajaan bernama To-Lang P'o- Hwang(Tulang Bawang), tepatnya
di pedalaman Chrqse (Sumatera). Sumber lain menyebutkan
bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama I-Tsing yang pernah singgah diSwarna
Dwipa (Sumatera). Tempat yang disinggahinya ternyata merupakan
bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia sempat melihat daerah
bernama Selapon . Ia kemudian memberi nama daerah itu
dengan istilah Tola P'ohwang .Sebutan Tola P'ohwang diambil
dari ejaan Sela-pun . Untuk mengejanya, kata ini di lidah
sang pujangga menjadi berbunyi so-la-po-un . Orang China
umumnya berasal dari daerah Ke ' . I-Tsing, yang
merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa menyebutkan So ,
maka ejaan yang familiar baginya adalah To . Sehingga,
katasolapun atau selapon disebutkan dengan
sebutan Tola P'ohwang . Lama kelamaan, sebutan itu menjadi tolang
Powangatau kemudian menjadi Tulang Bawang .
Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan
antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa
kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu
yang tidak dapat menerima ajaran tersebut, sehingga mereka kemudian menyingkir
ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo
dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada
abad ke-7, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung ,
yang kemudian dikenal dengan nama Lampung.
Hingga kini, belum ada orang atau pihak yang dapat
memastikan di mana pusat Kerajaan Tulang Bawang berada. Seorang ahli
sejarah, Dr. JW Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di Way
Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagar Dewa, yang jaraknya sekitar
radius 20 km dari pusat Kota Menggala. Jika ditilik secara geografis masa
kini, pemerintah ini terletak di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung
Sekitar abad ke-15, Kota Manggala dan alur Sungai Tulang
Bawang dikenal sebagai pusat perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan
komoditas pertanian lada hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan
kepada serikat dagang kolonial Belanda atau VOC ( Oost-Indische
Compagnie ) lebih murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan
kepada pedagang-pedagang Banten. Oleh karenanya, komoditi ini amat
terkenal di Eropa.Seiring dengan perkembangan zaman, Sungai Tulang Bawang
menjadi dermaga " Boom " atau tempat bersandarnya
kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Nusantara. Namun, cerita tentang
kemajuan komoditi yang satu ini hanya tinggal rekaman sejarah saja.
Pemerintah Tulang Bawang tidak terwariskan menjadi sistem
pemerintahan yang masih berkembang sampai sekarang. Nama kerajaan ini
kemudian menjadi nama Kabupaten Tulang Bawang, namun sistem dan struktur
pemerintahannya disesuaikan dengan perkembangan politik modern.
Periode Pemerintahan
Oleh karena tidak banyaknya catatan sejarah yang
mengungkap fakta lebih dalam lagi seputar Kerajaan Tulang Bawang, maka data
tentang periode pemerintahannya pun masih dalam proses pengumpulan.
Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Pemerintah Tulang Bawang mencakup wilayah yang
kini lebih dikenal dengan Provinsi Lampung.
Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang belum didapat
datanya. Berikut ini akan dibahas tentang bagaimana sistem pemerintahan
daerah Tulang Bawang pada masa pra-kemerdekaan, yaitu ketika daerah ini menjadi
bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Pada tanggal 22 November 1808,
pemerintahan Kesiden Lampung ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berada
di bawah pengawasan langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam. Hal ini
berakibat pada penataan ulang pemerintahan adat yang kemudian dijadikan alat
untuk menarik simpati masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda di bawah
kekuasaan Gubernur Jenderal Herman Wiliam kemudian membentuk Pemerintahan Marga
yang dipimpin oleh Kepala Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang dibagi
ke dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan, dan Buay
Umpu. Pada tahun 1914, dibentuk kebuayan baru, yaitu Buay Aji.
Namun, sistem ini tidak berjalan lama karena pada tahun
1864 mulai dibentuk sistem Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden
Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864. Sejak saat itu, pembangunan
berbagai fasilitas yang menguntungkan kepentingan Hindia Belanda mulai
dibangun, termasuk di Tulang Bawang. Ketika Kesiden Lampung dijajah oleh
Jepang, tidak banyak hal yang berubah. Setelah Indonesia merdeka, Lampung
ditetapkan sebagai keresidenan dalam wilayah Provinsi Sumatera
Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak terjadi perubahan sistem
pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi marak
terjadi di era otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah provinsi yang
terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu, status Menggala
ditetapkan sebagai Kecamatan Menggala di bawah naungan Provinsi Lampung Utara.
Sejarah Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu
saja, melainkan melalui proses pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh
masyarakat bersama dengan pemerintah yang diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan
tersebut merencanakan pembentukan Provinsi Lampung menjadi sepuluh kabupaten /
kota. Pada tahun 1981, Pemerintah Provinsi Lampung kemudian membentuk
delapan Lembaga Pembantu Bupati, yang salah satunya adalah Bupati Lampung Utara
Wilayah Menggala. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26 /
502 tanggal 8 Juni 1981, dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Lampung
Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara Wilayah Provinsi Lampung.
Melalui proses yang begitu panjang, akhirnya keberadaan
Kabupaten Tulang Bawang diputuskan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada
tanggal 20 Maret 1997. Sebagai tindak lanjutnya, keputusan tersebut
dikembangkan dalam UU No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Daerah Tingkat
II Tulang Bawang dan Kabupaten Tingkat II Tagamus.
Kehidupan Sosial-Budaya
Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan
masyarakat Tulang Bawang masih tradisional.Meski demikian, mereka sudah pandai
membuat kerajinan tangan dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam
perkembangan selanjutnya, kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih
ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15,
daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di
Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk pertanian
yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan sosial-budaya
masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses
2.3. Sejarah Pemerintah Kota Kapur
Kali ini saya akan berbagi tentang sejarah
singkat Pemerintah Kota Kapur. Jika dilihat dai hasil temuan dan
penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada
tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat
kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa sebelum munculnya Kerajaan
Sriwijaya.
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak
temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa)
yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di antaranya yaitu dua
buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu yang ditemukan di
daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang
berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah
ditemukan sebuah prasasti batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608
Saka (= 686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu
di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari
peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut tampaknya kekuasaan di Pulau Bangka
pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara
di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota
Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua
buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya
sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2-3
meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan waktu antara tahun
530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar
pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi
ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini
ditandai dengan dipancangkannya prasasti Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka
tahun 608 Saka (= 686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya
wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini
agaknya terkait dengan peran Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari
jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya
Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang
ada di Pulau Bangka.
A. Prasasti
Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang prasasti yang ditemukan di pesisir
barat Pulau
Bangka , di sebuah dusun kecil yang bernama
"Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam
aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu
Kuna , serta merupakan salah satu dokumen
tertulis tertua ber bahasa Melayu . Prasasti ini dilaporkan penemuannya
oleh JK van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti
pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya .
Orang pertama yang menganalisis prasasti ini
adalah H.
Kern , seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch
Genootschap di Batavia . Awalnya ia menganggap "Sriwijaya"
adalah nama seorang raja. George Cœdès -lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa
Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu
pemerintah yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung
Malaya , dan Thailand bagian selatan. Hingga tahun 2012, prasasti
Kota Kapur di Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan
status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia .
B. Tradisi
Asia Tenggara di Kota Kapur
Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur
segera dapat diidentifikasi lewat teknik pembuatannya.Lubang-lubang yang ada di
bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat
yang menembus lubang di sisi papan merupakan teknik rancang bangun perahu
dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug
technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan
untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan
menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang
di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan
di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam
lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan
di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik
kombinasi teknik ikat dan teknik pasak kayu ditemukan pada sisa perahu di situs
Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5
Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif di
Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia
Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur
ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs
Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan
di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi,
ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung
Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula
kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia
Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah
(Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur bisa
jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan saat perahu di situs Samirejo dan
situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota
Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan
setidaknya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu ke-
"datu" -an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu
terus berlanjut pada abad ke-10 sampai ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur
ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih
tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota kapur ini
ada pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai
Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan
tembikar kasar dengan dekorasi sederhana mirip tembikar masa prasejarah.
C. Spirit
Bahari Di Kota Kapur
Seusai mendokumentasikan pengangkatan
papan-papan perahu dan mendeskripsikan artefak itu satu per satu, bangkai
perahu Sriwijaya itu kemudian ditenggelamkan kembali ke dalam kolong di sekitar
lokasi situs prasasti kota kapur ini. Lho?
"Konservasi kayu perahu kuno yang paling
murah, ya, dipendam lagi dalam rawa," ujar seorang arkeolog sambil
mengawasi tenaga lokal yang menurunkan papan-papan perahu ke air. Artefak
kayu itu apabila kena sinar matahari langsung biasanya lebih cepat lapuk,
sementara dalam rawa dapat lestari sampai berabad-abad.
Pemerintah Kabupaten Bangka sebenarnya telah
memiliki rencana mengumpulkan kembali berbagai jenis artefak situs Kota Kapur
yang berada di luar situs, namun belum ada tempat yang memadai untuk memelihara
papan-papan itu. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten telah memprakarsai
dan menciptakan kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan situs Kota Kapur
kali ini. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat menggali jati diri Bangka
sekaligus mengembangkan situs arkeologi itu sebagai kawasan wisata.
Penemuan bangkai perahu kuno di situs Kota
Kapur merupakan data baru sekaligus bagian dari penemuan jati diri itu
sendiri. Tentang spirit bahari dari kota Kapur ini.
"Ya, temuan itu relevan dengan kata
kepulauan yang digunakan untuk nama provinsi ini," ujar Yan Megawanti, Kepala
Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Sekarang Kepala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Babel), memaknai pesan masa lalu di balik bangkai
perahu kuno dengan kehidupan masa sekarang.
Pesan tentang keberhasilan bahari masa lalu
dari Kota Kapur segera harus ditindaklanjuti. Tahun 2008 yang lalu adalah
100 tahun Kebangkitan Nasional. Belajar dari masa lalu, bangsa ini bisa
cepat bangkit, maju, dan sukses melalui dunia bahari. Jangan biarkan
spirit bahari itu terpendam lagi dalam rawa. Kebangkitan bahari bisa saja
dimulai dari Kota Kapur untuk semua kepulauan di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah kita mengikuti Risalah kecil ini
tentang Riwayat Sejarah Kerajaan Tulang Bawang dan Pemerintah Kota Kapur, maka
kita dapat mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.
Tempat Keraton Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan disekitar Pendukuhan.
2.
Raja Tulang Bawang yang pertama diperkirakan MAULANO AJI / MAULANA HAJI
Tahun 623 M.
3.
Raja Tulang Bawang yang terakhir adalah Minak PATI PEJURIT gelar Minak
Kemala BUMI.
4.
Adat Imigrasi / Transmigrasi sudah ada sejak zamannya Kerajaan Tulang
Bawang.
5.
Demokrasi dan Hak Azazi Manusia sudah ada sejak Zamannya Minak Kemala
Bumi.
6.
Penyebaran Agama Islam di Lampung adalah Minak Kemala BUMI.
7.
Hubungan antara Lampung dengan Banten, Lampung dengan Palembang, Pagar
Dewa Tulang Bawang dengan Kedamaian Balau sudah ada sejak zamannya Minak Kemala
BUMI.
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Sriwijaya
yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit yang baru
ditemukan pada 29 November 1920, dan Prasasti Talang Tuo yang ditemukan
beberapa hari sebelumnya yaitu pada 17 November 1920.
Prasasti Kota Kapur ini, beserta
penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah tersebut, merupakan peninggalan
masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang masa-masa Hindu-Budha di masa
itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang pola masyarakat yang hidup
pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang agama Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar